Judul
: A Love at First Sight
Nama
Penulis : Jennifer E. Smith
Penerjemah
: Linda Boentaram
Penyunting
: Prisca Primasari
Proofreader
: Emi Kusmiati
Desainer
Sampul : Aditya Satyagraha
Penerbit
: Qanita
Tanggal
Terbit : November 2012
Edisi
: Cetakan Kedua
ISBN
: 978-602-9225-56-3
Rating : 3,5 dari 5 bintang
“Orang-orang yang bertemu di bandara
lebih mungkin jatuh cinta dengan persentase tujuh puluh dua persen, daripada
bertemu di tempat lain.” -hlm. 315
Menakjubkan.
Ya..satu kata itu cukup menggambarkan isi dari novel ini bagi saya. A Love at
First Sight mengingatkan kita bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar
ada. Tidak percaya? Kalau begitu, coba simak kisah cinta antara Hadley dan
Oliver ini.
Hadley
tidak menyangka bahwa ia akan ketinggalan pesawatnya yang menuju London—negara
tempat ayahnya akan menikah lagi. Seumur
hidupnya ia tidak pernah ketinggalan pesawat. Sekali pun tidak. Tapi hari itu,
ia terlambat empat menit. Kalau dipikir-pikir, selisihnya tidak terlalu besar.
Dan empat menit tidak ada artinya. Terang saja itu menjadi mimpi buruk baginya.
Kesialan yang datang tanpa ia inginkan. Siapa sangka empat menit bisa mengubah
segalanya?
Bagi
Hadley yang fobia terhadap ruang sempit, bandara tak ubahnya sebagai kamar
penyiksaan. Impitan orang-orang, gerak kabur dan perputarannya, dengung suara
yang naik turun dan memusingkan, hiruk-pikuk dan keributan adalah salah satu
dari banyak hal yang dibenci Hadley.
Namun,
siapa sangka, ketinggalannya itu malah membuatnya bertemu dengan cowok keren
bernama Oliver. Seseorang yang tinggi kurus, dengan rambut berantakan dan mata
hijau menakjubkan dan noda muster di dagu yang sanggup membuat jantung Hadley
meloncat bak kelinci gila.
“Apakah mungkin kita
tidak pernah tahu seperti apa tipe kita—bahkan tidak tahu kita punya
tipe—sampai akhirnya kita mengetahuinya dengan tiba-tiba?” -hlm. 45
Diawali
dengan bantuan membawa koper, berlanjut dengan makan di sebuah deli di dalam
bandara. Lalu tempat duduk mereka yang tak sengaja bersebelahan. Obrolan
tentang hobi, makanan, serta binatang favorit sampai menjurus ke pembicaraan
tentang keluarga masing-masing.
Hampir
setengah dari halaman novel ini menceritakan akan perjalanan Hadley dan Oliver
di dalam pesawat. Obrolan tak penting yang terus saja berlanjut tanpa ada
ujungnya. Meskipun sesekali salah satu dari mereka tertidur lalu terbangun
secara tak sengaja. Alur yang digunakan adalah maju mundur. Tapi meskipun
begitu tak terasa membingungkan apalagi membosankan. Karena sepanjang
perjalanan di dalam pesawat itu terkadang diselingi flashback akan masa lalu
Hadley dengan ayahnya. Ya…dengan ayah yang akan menikah lagi dengan wanita yang
bahkan belum pernah ditemui oleh Hadley.
“Kita berbagi sandaran
tangan dengan seseorang beberapa jam. Kita bertukar cerita tentang kehidupan
kita, satu atau dua anekdot lucu, mungkin bahkan lelucon. Kita berkomentar
tentang cuaca dan makanan yang tidak enak. Kita mendengarkan orang itu
mendengkur. Lalu, kita mengucapkan selamat jalan.” -hlm. 133
Dan
setidaknya memang itulah yang akan dilakukan Hadley saat pesawat yang
membawanya dari Amerika akhirnya mendarat di London. Tentang perpisahannya
dengan Oliver.
Suasana
perjalanan dalam pesawat dan suasana saat pesta pernikahan digambarkan dengan
jelas. Sehingga, saya benar-benar bisa merasakan suasana yang diangkat penulis.
Yang sekali lagi tidak membuat saya bosan.
“Orang-orang yang bertemu
pada setidaknya tiga kesempatan berbeda dalam rentang dua puluh empat jam,
sembilan puluh delapan persen berpeluang untuk bertemu kembali.” -hlm.
316
Namun
saya merasa konfliknya kurang tajam. Apalagi banyak scene yang terkesan flat.
Adegan saat di pesawat dan acara pernikahan memang dijelaskan secara gamblang
namun efek-nya terkesan mendetail dan sedikit membosankan.
Dan
begitulah adanya, saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan novel ini.
Novel yang dikemas dengan manis, hangat dan menyentuh. Good job.
0 komentar:
Posting Komentar