Judul : Ally – All These Lives
Nama Penulis : Arleen A
Editor : Dini Novita Sari
Desain Sampul : Iwan Mangopang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit : 2014
Edisi : Cetakan Pertama
Jumlah hal.: 264 halaman
ISBN : 978-602-03-0884-5
Rating : 4 dari 5 bintang
“Kau
bisa bayangkan orang seperti ini akan hidup dari koper. Untuk apa ia
membereskan bajunya ke dalam lemari? Ia tidak akan pernah punya kesempatan
untuk berakar di suatu tempat. Setiap kali ia mulai menganggap sebuah tempat
sebagai rumah, ia bisa saja harus pindah lagi. Jika kau berada di posisi
seperti ini, apakah kau akan menanam bunga atau pohon di kebun belakangmu?
Apakah kau masih akan ada di sana ketika bunganya mekar atau buahnya matang?”
–hlm. 49
Alison Lancaster tidak pernah menyangka bahwa
dirinya akan mengalami hal istimewa
sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah tahu sampai ketika umurnya 10 tahun, ia
mengamai Saat Ketidakberadaan itu untuk pertama kalinya. Sensasi menggelitik bagai
kesemutan ditangan atau kakinya adalah tanda bahwa Saat Ketidakberadaan-nya itu
muncul. Lalu dengan cepat semuanya akan menghilang, apapun yang ada
disekitarnya akan menghilang. Bahkan saat itu ia tidak tahu apakah ia sedang
duduk, tidur ataupun berdiri. Hal itu terjadi dalam sepersekian detik. Awalnya
ia merasa itu hal biasa. Namun Saat Ketidakberadaan itu malah menghadirkan
orang-orang yang tidak ia kenal dalam hidupnya dan menghilangkan orang-orang
yang ia kenal dalam hidupnya, ia tahu bahwa hidupnya akan lebih rumit dari yang
ia bayangkan.
Alison Lancaster juga tidak pernah menyangka bahwa
ada kehidupan yang lain yang ditempati Ally-Ally yang lain pula. Kerap kali
Saat Ketidakberadaan menelannya, ia mendapati dirinya ditempatkan dalam
kehidupan Ally yang lain. Yang bukan miliknya, namun seolah miliknya. Ia
berusaha menyesuaikan diri dengan keadaannya, namun perasaan lelah selalu saja
meliputinya. Terkadang ia merasa bahwa dirinya adalah seorang asing yang sedang
berpura-pura menjadi bagian dari sebuah keluarga dikehidupan barunya, seorang
asing yang sedang menyamar menjadi anak perempuan di keluarga itu.
Lalu, siapkah dirimu berpetualang dengan kehidupan
Ally yang tidak biasa ini?
“Apakah
hati manusia bisa dibayangkan seperti sebuah lemari buku dengan banyak rak dan bilik-bilik
di dalamnya? Beberapa orang mungkin lebih beruntung karena memiliki hati atau
lemari yang besar dengan banyak rak dan bilik-bilik di dalamnya? Lalu bagaimana
bila hati seseorang terlalu kecil? Apakah didalamnya hanya ada satu bilik yang
ditempati oleh dirinya sendiri?” –hlm. 67
Awal
saya membaca buku ini adalah saat saya menjadi Fist Chapters Commentator bab 1 dan 2 dari novel ini. Saat itulah saya
tahu bahwa novel ini akan memberikan warna baru di tahun 2015.
Novel
ini menyajikan cerita yang berbeda. Tentang parallel
universe dan teori dunia banyak. Bahwa tidak hanya Ally saja yang hidup di
kehidupannya yang ini, namun ada banyak lagi Ally-Ally yang lain yang hidup di
kehidupan yang lain. Dan disinilah, ia bisa bertukar tempat dengan Ally yang
lain meskipun ia tidak ingin. Karena Saat Ketidakberadaan itu selalu datang
tiba-tiba tanpa ada yang bisa mencegahnya.
Ya,
penulis semacam menyajikan potongan puzzle-puzzle dalam cerita yang tidak mudah
ditebak. Dan kita hanya bisa melihat gambaran akhirnya kalau sudah sampai
halaman terakhir. Berkali-kalipun saya memaksakan diri untuk menebak seperti
'kejadian apa sih yang sebenarnya menimpa Ally saat keberadaannya telah
mengambil semua darinya?' 'Kenapa ia tidak bisa mengingat waktu yang hanya
beberapa detik menelannya itu dan merubah semuanya?' Ya, pikiran semacam itu
masih berkelebat di dalam pikiran saya.
Meskipun
sedetik, rupanya waktu mampu mengubah segalanya ya.
Awal
bab yang sudah diisi dengan kejutan manis oleh penulisnya itu membuat saya
tidak bosan untuk melanjutkan ke bab selanjutnya. Dan di bab kedua, lagi-lagi
penulis membuat kejutan. Menurut saya, isi ceritanya langsung to the point dan saya suka. Maksudnya
awal bab sudah di gambarkan point dari ceritanya, yaitu ketika Ally sama sekali
tidak mengingat kejadian beberapa tahun sebelumnya ketika ketidakberadaan
menelannya. Konflik-konfliknya juga sudah terasa di bab-bab awal.
Alurnya
terlalu cepat, namun tidak terkesan mendadak atau dipaksakan. Semuanya runtut
dan terasa memang porsi yang seharusnya memang dibuat seperti itu. Agak sebal
juga sih ketika saya masih menikmati hidup Ally yang ini, tiba-tiba penulis
sudah menyajikan konflik yang baru dan menempatkan Ally di kehidupan yang lain.
Setiap
kali membalikkan halaman demi halaman saya selalu diliputi perasaan khawatir,
gelisah sekaligus deg-degan, berharap penulis tidak menyajikan kejutan manis
baru dalam cerita ini. Entah kenapa saya merasa seperti Ally yang selalu
diliputi perasaan takut dengan kemungkinan-kemungkinan kapan Saat Ketidakberadaan
itu datang.
Ketika
akhirnya Saat Ketidakberadaan itu merenggut orang-orang yang dicintainya, hati
saya rasanya juga remuk redam. Ahh…penulis ternyata sudah mampu
memporak-porandakan emosi saya. It’s
Great!
Saya
suka pemilihan gaya bahasa yang enak dibaca dan dimengerti. Ringan dan tidak
berat. Namun saya tahu model bahasanya lebih condong ke barat / seperti novel
terjemahan meskipun tidak terlalu kentara.
Riset
yang dilakukan penulis tentang teori dunia banyak yang dikemukakan pertama kali
oleh Hugh Everett III (1930-1982) dan beberapa latar tempat seperti
Kulanthpitha dan Cluck U juga patut diacungi jempol.
Untuk
covernya. Awalnya aneh menurut saya. Tapi begitu selesai membaca novel ini,
saya tahu kalau covernya sudah mewakili isi dari novelnya sendiri. Mungkin (ini
hanya menurut saya) gambar 3 spot yang berbeda itu menggambarkan saat Ally
mengalami Saat Ketidakberadaan-nya tadi.
Dari
sederet hal yang menarik, poin-poin yang paling bisa saya petik dari “Ally—All
These Lives” pastinya ada pada permainan sifat penokohannya, latarnya yang luar
biasa menginspirasi dan ide dari ceritanya sendiri : sebuah peristiwa yang absurd
yang sulit diuraikan dengan logika.
0 komentar:
Posting Komentar