[Review] Not Alone In Otherland

on Kamis, 30 April 2015



Judul : Not Alone In Otherland
Nama Penulis : Lia Indra Andriana, Fei dan Andry Setiawan
Penyunting : NyiBlo
Desain Cover : Dedy Andrianto
Ilustrasi Isi : Angelina Setiani
Penerbit : Haru
Tanggal Terbit : November 2012
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-7742-06-2
Rating : 4 dari 5 bintang

Sendirian menjelajah negeri orang yang bahkan mereka tidak fasih bahasanya. Itulah yang dialami Lia, Fei, dan Andry pada awalnya. Mereka berangkat bermodalkan nekad dan memulai petualangan sebagai siswa bahasa di Seoul, Shanghai, dan Tokyo. Penuh kekhawatiran, namun juga penuh kegembiraan dan rasa penasaran yang meluap.

Annyeonghaseyo, Seoul!


“Jika ada yang memiliki mesin waktu dan bertanya apakah saya ingin kembali ke masa lalu, saya akan meminta kembali ke masa 100 hari di Korea ini. Bukan untuk mengubahnya, melainkan untuk menikmatinya lagi.” –Lia

Tahun 2012, Lia menginjakkan kakinya di Negeri Ginseng untuk kedua kalinya. Namun, yang ini berbeda. Ia datang sebagai seorang “pelajar” dan itu artinya dia harus berpikir layaknya pelajar yang menjunjung tinggi prinsip hidup hemat. Pengeluaran tak penting sekecil apapun bisa membuat biaya hidup disana membengkak dan itu tidak boleh terjadi.

Lia menjalani tiga bulan kehidupan sebagai pelajar asing di Sungkyunkwan University. Kampus tertua yang ada di Korea (didirikan tahun 1398) dan di dalamnya masih terdapat beberapa bangunan sejarah.

Beberapa orang (termasuk saya) bukan orang yang mudah memulai sebuah pembicaraan. Begitu juga dengan Lia. Tetapi, sebelum berangkat ke Korea, dia telah menantang diri sendiri untuk mencari teman sebanyak yang ia mampu.

Ia bertemu dengan Mana, gadis Jepang yang menjadi temannya. Bertemu dengan seorang bapak berumur 60 tahun yang juga mengambil kelas bahasa, berkenalan dengan seorang pria Perancis, makan bermasa teman baru dan berinteraksi dengan teman-teman barunya di kelas adalah kegiatan sehari-harinya selama menjalani pelajar asing.

“Hal sepele seperti ‘menemani’ makan ternyata bisa membuat suasana hati seseorang menjadi baik. Saat inilah pertama kalinya saya berpikir, ‘teman’ adalah kebutuhan primer manusia.” –hlm. 65

Nihao, Shanghai!

“Dan ternyata, memang sebuah sapaan sesimpel ‘halo’ dalam berbagai bahasa merupakan jurus yang sangat ampuh untuk membuka pembicaraan, dan juga jalan pertemanan dengan orang-orang dari berbagai negara.” –Fei


Akhir Februari 2009, pesawat yang ditumpangi Fei mendarat di Bandara Internasional Pudong, Shanghai. Kota metropolitan terbesar di China yang akan menjadi ‘rumah’ bagi Fei untuk paling tidak beberapa bulan ke depan karena dia telah mendaftar program belajar Mandarin di Shanghai University of Finance and Economics (SUFE)

Banyak sekali hal baru yang harus Fei cerna tentang kebiasaan dan kehidupan masyarakat local. Saat itu ia tidak tahu kejutan apa lagi yang akan ia temui, tetapi Fei merasa siap menanti pengalaman-pengalaman baru yang akan ia dapat di ‘rumah’ barunya.

“Saya harus memaksa diri untuk meninggalkan zona nyaman saya jauh-jauh, mencoba untuk menikmati semua. Mungkin banyak pengalaman seru yang akan terjadi. Selain itu, bukankah kebahagiaan seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri? Kalau saya bisa membuat diri saya memikirkan segala sesuatu dari segi yang positif, pasti saya akan baik-baik saja.” –hlm. 117

Awalnya Fei merasa kebingungan. Ia mulai khawatir bagaimana hari-harinya selanjutnya. Apa ia akan bisa bertahan hidup di negara yang begitu asing ini ? Walau mungkin secara fisik Fei cukup mirip dengan penduduk local, tetapi ia masih asing dengan bahasa maupun budayanya.

Banyak pengalaman baru + seru yang Fei dapat, seperti dimarahi orang ketika sedang mengantri di depan ATM. Bahkan bukan sekali itu saja dia dimarahi orang di jalan karena mereka mengira Fei orang local, tetapi diajak ngobrol malah cuma cengar-cengir sambil memasang tampang penuh tanda tanya.

“Bahasa memang sarana utama dalam berkomunikasi. Tanpanya, mungkin banyak kesalahpahaman bisa terjadi. Tetapi, adakalanya tidak mengerti justru lebih baik.” –hlm. 119

Konnichiwa, Tokyo!


“Saya mulai merasa kehilangan diri saya sendiri. Saya sempat bertanya-tanya apa pilihan saya ini benar?” –Andry

Berbeda dengan Fei dan Lia yang melakukan perjalanan bahasa, disini Andry pergi ke Tokyo tidak mencari sekolah bahasa karena ia menerima beasiswa D2. Tahun 2004 bersama 2 orang lagi penerima beasiswa D2 dari Indonesia, ia berangkat ke Tokyo, Jepang.

“Cepat atau lambat, suatu saat kita harus keluar dari zona nyaman kita. Jika tidak, dunia kehidupan kita akan sekecil liang kelinci, hanya cukup ruangan bangi kita tanpa ada orang lain yang bisa masuk untuk berbagi. Keluar dari zona nyaman memang tidak mudah.” –hlm. 197

Awalnya Andry sedikit asing dengan perbedaan-perbedaan dan juga kebiasaan orang Jepang. Seperti misanya di Tokyo hanya memiliki sedikit tempat sampah. Bahkan beberapa kali Andry harus memasukkan sampahnya ke tas dan membawanya pulang untuk kemudian dia buang di tempat sampahnya sendiri.

“Persahabatan bukan hanya tentang diri kita menerima orang lain, tetapi juga membiarkan diri kita diterima orang lain.” –hlm. 200

Sama seperti Lia dan Fei, keseharian Andry di Tokyo tak lepas dari persahabatannya dengan orang-orang dari berbagai negara. Meskipun ia seorang yang pendiam, namun ia tetap berusaha untuk berbaur dan memberanikan diri untuk berkenalan dengan orang-orang baru.

Tahun 2012 ia mulai bekerja di sebuah perusahaan Informatika yang berada di Tokyo. Bagian ini adalah bagian kedua dari pengalamannya tinggal di Jepang. Di bagian ini Andry menceritakan liburannya selama 9 hari tepat saat Golden Week. Tujuan lain dari perjalanan liburannya ini adalah untuk bertemu, berkenalan, dan kemudian bersahabat dengan satu orang per hari. Wew !! Cukup menantang juga ya. Banyak hal, banyak pengalaman, dan juga banyak orang baru yang ia temui selama perjalanan liburannya ini.

“Yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri.” –Windy Ariestanty (Life Traveler)

Pengalaman seperti mereka pernah saya alami. Meskipun bukan perjalanan bahasa, namun saya juga merasakan bagaimana rasanya keluar dari zona nyaman dan berusaha hidup mandiri, dan saya akui, itu tidak mudah. Kata “hemat” selalu tergiang-giang di benak saya kala saya tinggal jauh dari orang tua. Dan saat itu, buku inilah yang menemani hari-hari saya disana. Urm..well..rasanya seperti menemukan kekuatan dalam buku ini.

Banyak pengetahuan baru yang saya dapat setelah membaca buku ini. Tentang hal menarik yang ada di Korea, bahwa hubungan guru-murid yang dekat. Banyak professor / guru disana yang sering mengundang murid-muridnya untuk makan bersama dan saya tidak pernah menemukan fenomena tersebut di Indonesia. Juga hal menarik tentang Coffee Shop di Korea. Kamu boleh duduk berjam-jam meski kopi yang kamu pesan sudah habis. Dan kamu bisa menemukan coffee shop setiap 100 meter.

Hal menarik yang saya temukan di Shanghai adalah memesan air minum gallon yang praktis. Apalagi beberapa merek convenient store juga melayani pembayaran rekening listrik, air dan gas. Dalam bab yang ditulis kak Fei saya menemukan fakta perbedaan untuk urusan sekolah antara orang Asia dan orang Eropa. Banyak siswa Asia sekolah demi mengejar ijazah dan nilai bagus supaya bisa cepat kerja. Sebaliknya, kebanyakan orang Eropa cukup santai dalam urusan sekolah. Bagi kebanyakan orang Eropa, sekolah memang bukan semata tentang belajar mengejar nilai dan ijazah, tetapi mengejar pengetahuan itu sendiri.. mereka tidak buru-buru ingin lulus, namun juga tidak terus menunda-nunda.

Sementara di Jepang saya menemukan hal menarik tentang penggunaan toilet di Jepang. Penggunaan toilet Jepang perlu penjelasan khusus, karena salah-salah kamu akan merasakan sakitnya. Ada juga tentang kebiasaan orang Jepang tentang garam. Untuk mengembalikan kadar garam dan air dalam tubuh, orang Jepang sering menggunakan garam untuk dicolek dengan semangka agar lebih manis. Nggak percaya? Coba aja deh, tapi jangan kebanyakan garam ya #hehe.

Ini buku non-fiksi yang memberikan saya pengetahuan dan banyak hal di luar sana yang belum saya ketahui. Terimakasih untuk ketiga kakak hebat yang menuliskan pengalaman mereka untuk dibagi ke pembaca. Selain menambah wawasan, buku ini juga memberitahumu bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Teman, sahabat adalah kebutuhan primer manusia saat ini. Tanpa mereka, menurut saya pribadi, masa-masa kita di kehidupan ini tidak ada artinya. Merekalah pewarna kehidupan ini.

0 komentar:

Posting Komentar