Judul : Not Alone In Otherland
Nama Penulis : Lia Indra Andriana, Fei dan Andry
Setiawan
Penyunting : NyiBlo
Desain Cover : Dedy Andrianto
Ilustrasi Isi : Angelina Setiani
Penerbit : Haru
Tanggal Terbit : November 2012
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-7742-06-2
Rating : 4 dari 5 bintang
Sendirian menjelajah negeri orang yang bahkan mereka
tidak fasih bahasanya. Itulah yang dialami Lia, Fei, dan Andry pada awalnya.
Mereka berangkat bermodalkan nekad dan memulai petualangan sebagai siswa bahasa
di Seoul, Shanghai, dan Tokyo. Penuh kekhawatiran, namun juga penuh kegembiraan
dan rasa penasaran yang meluap.
Annyeonghaseyo, Seoul!
“Jika
ada yang memiliki mesin waktu dan bertanya apakah saya ingin kembali ke masa
lalu, saya akan meminta kembali ke masa 100 hari di Korea ini. Bukan untuk
mengubahnya, melainkan untuk menikmatinya lagi.”
–Lia
Tahun
2012, Lia menginjakkan kakinya di Negeri Ginseng untuk kedua kalinya. Namun,
yang ini berbeda. Ia datang sebagai seorang “pelajar” dan itu artinya dia harus
berpikir layaknya pelajar yang menjunjung tinggi prinsip hidup hemat.
Pengeluaran tak penting sekecil apapun bisa membuat biaya hidup disana membengkak
dan itu tidak boleh terjadi.
Lia
menjalani tiga bulan kehidupan sebagai pelajar asing di Sungkyunkwan
University. Kampus tertua yang ada di Korea (didirikan tahun 1398) dan di
dalamnya masih terdapat beberapa bangunan sejarah.
Beberapa
orang (termasuk saya) bukan orang yang mudah memulai sebuah pembicaraan. Begitu
juga dengan Lia. Tetapi, sebelum berangkat ke Korea, dia telah menantang diri
sendiri untuk mencari teman sebanyak yang ia mampu.
Ia
bertemu dengan Mana, gadis Jepang yang menjadi temannya. Bertemu dengan seorang
bapak berumur 60 tahun yang juga mengambil kelas bahasa, berkenalan dengan
seorang pria Perancis, makan bermasa teman baru dan berinteraksi dengan teman-teman
barunya di kelas adalah kegiatan sehari-harinya selama menjalani pelajar asing.
“Hal
sepele seperti ‘menemani’ makan ternyata bisa membuat suasana hati seseorang
menjadi baik. Saat inilah pertama kalinya saya berpikir, ‘teman’ adalah
kebutuhan primer manusia.” –hlm. 65
Nihao, Shanghai!
“Dan
ternyata, memang sebuah sapaan sesimpel ‘halo’ dalam berbagai bahasa merupakan
jurus yang sangat ampuh untuk membuka pembicaraan, dan juga jalan pertemanan
dengan orang-orang dari berbagai negara.” –Fei
Akhir
Februari 2009, pesawat yang ditumpangi Fei mendarat di Bandara Internasional
Pudong, Shanghai. Kota metropolitan terbesar di China yang akan menjadi ‘rumah’
bagi Fei untuk paling tidak beberapa bulan ke depan karena dia telah mendaftar
program belajar Mandarin di Shanghai University of Finance and Economics (SUFE)
Banyak
sekali hal baru yang harus Fei cerna tentang kebiasaan dan kehidupan masyarakat
local. Saat itu ia tidak tahu kejutan apa lagi yang akan ia temui, tetapi Fei
merasa siap menanti pengalaman-pengalaman baru yang akan ia dapat di ‘rumah’
barunya.
“Saya
harus memaksa diri untuk meninggalkan zona nyaman saya jauh-jauh, mencoba untuk
menikmati semua. Mungkin banyak pengalaman seru yang akan terjadi. Selain itu,
bukankah kebahagiaan seseorang ditentukan oleh orang itu sendiri? Kalau saya
bisa membuat diri saya memikirkan segala sesuatu dari segi yang positif, pasti
saya akan baik-baik saja.” –hlm. 117
Awalnya
Fei merasa kebingungan. Ia mulai khawatir bagaimana hari-harinya selanjutnya.
Apa ia akan bisa bertahan hidup di negara yang begitu asing ini ? Walau mungkin
secara fisik Fei cukup mirip dengan penduduk local, tetapi ia masih asing
dengan bahasa maupun budayanya.
Banyak
pengalaman baru + seru yang Fei dapat, seperti dimarahi orang ketika sedang
mengantri di depan ATM. Bahkan bukan sekali itu saja dia dimarahi orang di
jalan karena mereka mengira Fei orang local, tetapi diajak ngobrol malah cuma
cengar-cengir sambil memasang tampang penuh tanda tanya.
“Bahasa
memang sarana utama dalam berkomunikasi. Tanpanya, mungkin banyak
kesalahpahaman bisa terjadi. Tetapi, adakalanya tidak mengerti justru lebih
baik.” –hlm. 119
Konnichiwa, Tokyo!
“Saya
mulai merasa kehilangan diri saya sendiri. Saya sempat bertanya-tanya apa
pilihan saya ini benar?” –Andry
Berbeda
dengan Fei dan Lia yang melakukan perjalanan bahasa, disini Andry pergi ke
Tokyo tidak mencari sekolah bahasa karena ia menerima beasiswa D2. Tahun 2004
bersama 2 orang lagi penerima beasiswa D2 dari Indonesia, ia berangkat ke
Tokyo, Jepang.
“Cepat
atau lambat, suatu saat kita harus keluar dari zona nyaman kita. Jika tidak,
dunia kehidupan kita akan sekecil liang kelinci, hanya cukup ruangan bangi kita
tanpa ada orang lain yang bisa masuk untuk berbagi. Keluar dari zona nyaman
memang tidak mudah.” –hlm. 197
Awalnya
Andry sedikit asing dengan perbedaan-perbedaan dan juga kebiasaan orang Jepang.
Seperti misanya di Tokyo hanya memiliki sedikit tempat sampah. Bahkan beberapa
kali Andry harus memasukkan sampahnya ke tas dan membawanya pulang untuk
kemudian dia buang di tempat sampahnya sendiri.
“Persahabatan
bukan hanya tentang diri kita menerima orang lain, tetapi juga membiarkan diri
kita diterima orang lain.” –hlm. 200
Sama
seperti Lia dan Fei, keseharian Andry di Tokyo tak lepas dari persahabatannya
dengan orang-orang dari berbagai negara. Meskipun ia seorang yang pendiam,
namun ia tetap berusaha untuk berbaur dan memberanikan diri untuk berkenalan
dengan orang-orang baru.
Tahun
2012 ia mulai bekerja di sebuah perusahaan Informatika yang berada di Tokyo.
Bagian ini adalah bagian kedua dari pengalamannya tinggal di Jepang. Di bagian
ini Andry menceritakan liburannya selama 9 hari tepat saat Golden Week. Tujuan
lain dari perjalanan liburannya ini adalah untuk bertemu, berkenalan, dan
kemudian bersahabat dengan satu orang per hari. Wew !! Cukup menantang juga ya.
Banyak hal, banyak pengalaman, dan juga banyak orang baru yang ia temui selama
perjalanan liburannya ini.
“Yang
paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita
sendiri.” –Windy Ariestanty (Life Traveler)
Pengalaman
seperti mereka pernah saya alami. Meskipun bukan perjalanan bahasa, namun saya
juga merasakan bagaimana rasanya keluar dari zona nyaman dan berusaha hidup
mandiri, dan saya akui, itu tidak mudah. Kata “hemat” selalu tergiang-giang di
benak saya kala saya tinggal jauh dari orang tua. Dan saat itu, buku inilah
yang menemani hari-hari saya disana. Urm..well..rasanya
seperti menemukan kekuatan dalam buku ini.
Banyak
pengetahuan baru yang saya dapat setelah membaca buku ini. Tentang hal menarik
yang ada di Korea, bahwa hubungan guru-murid yang dekat. Banyak professor /
guru disana yang sering mengundang murid-muridnya untuk makan bersama dan saya
tidak pernah menemukan fenomena tersebut di Indonesia. Juga hal menarik tentang
Coffee Shop di Korea. Kamu boleh duduk berjam-jam meski kopi yang kamu pesan
sudah habis. Dan kamu bisa menemukan coffee shop setiap 100 meter.
Hal
menarik yang saya temukan di Shanghai adalah memesan air minum gallon yang
praktis. Apalagi beberapa merek convenient store juga melayani pembayaran
rekening listrik, air dan gas. Dalam bab yang ditulis kak Fei saya menemukan
fakta perbedaan untuk urusan sekolah antara orang Asia dan orang Eropa. Banyak
siswa Asia sekolah demi mengejar ijazah dan nilai bagus supaya bisa cepat
kerja. Sebaliknya, kebanyakan orang Eropa cukup santai dalam urusan sekolah.
Bagi kebanyakan orang Eropa, sekolah memang bukan semata tentang belajar
mengejar nilai dan ijazah, tetapi mengejar pengetahuan itu sendiri.. mereka
tidak buru-buru ingin lulus, namun juga tidak terus menunda-nunda.
Sementara
di Jepang saya menemukan hal menarik tentang penggunaan toilet di Jepang.
Penggunaan toilet Jepang perlu penjelasan khusus, karena salah-salah kamu akan
merasakan sakitnya. Ada juga tentang kebiasaan orang Jepang tentang garam.
Untuk mengembalikan kadar garam dan air dalam tubuh, orang Jepang sering
menggunakan garam untuk dicolek dengan semangka agar lebih manis. Nggak
percaya? Coba aja deh, tapi jangan kebanyakan garam ya #hehe.
Ini
buku non-fiksi yang memberikan saya pengetahuan dan banyak hal di luar sana
yang belum saya ketahui. Terimakasih untuk ketiga kakak hebat yang menuliskan
pengalaman mereka untuk dibagi ke pembaca. Selain menambah wawasan, buku ini
juga memberitahumu bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Teman, sahabat adalah
kebutuhan primer manusia saat ini. Tanpa mereka, menurut saya pribadi,
masa-masa kita di kehidupan ini tidak ada artinya. Merekalah pewarna kehidupan
ini.
0 komentar:
Posting Komentar