[Review] People Like Us

on Selasa, 29 September 2015


Judul : People Like US
Nama Penulis : Yosephine Monica
Penyunting : Tia Widiana
Proofreader : Dini Novita Sari
Design Cover : Angelina Setiani
Penerbit : Haru
Tanggal Terbit : Juni 2014
Edisi : Cetakan Pertama
Jumlah hal.: 330 hlm
ISBN : 978-602-7742-35-2
Rating : 3,8 dari 5 bintang

Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu.
Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan banyak hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka,
Tentang cinta pertama,
Tentang persahabatan,
Tentang keluarga,
Juga tentang…kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu bagaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?
***

“Ketika kau tidak bisa mengingat seseorang—seseorang yang menganggapmu sangat penting, apa yang seharusnya kau rasakan? Apa yang akan kau lakukan?” –hlm. 50

Amelia Collins adalah gadis biasa yang tidak pernah bersinar di sekolahnya. Tidak tinggi, tidak juga pendek ; standar. Tidak gendut, tidak juga kurus ; standar. Matanya tidak sipit, tidak juga bulat ; standar. Kau bisa bayangkan betapa normalnya dia. Dan hanya ada dua hal yang membuatnya dikenal banyak orang.

Pertama, tentang Amy yang suka menulis.
Kedua, tentang Amy yang menyukai Benjamin Miller.

Ben adalah cinta pertama Amy. Mereka bertemu saat anak lelaki itu mendaftar di high school yang sama dengannya. Namun, sayangnya, Ben sendiri tak mengenal Amy sama sekali. Ia malah menjauhi gadis itu dan segala sesuatu tentangnya, menatap Amy seperti virus mematikan yang tidak boleh didekati. Bahkan ada sebuah ide yang sekilas melintas di otaknya : harapan agar Amelia Collins lebih baik pergi, menghilang, atau—yang lebih ekstrem—tidak pernah ada di dunia ini.

Ketika akhirnya, ide itu menjadi kenyataan, alam seolah mempertemukan mereka berdua kembali. Untuk saling menemani, memahami, dan mewujudkan mimpi mereka yang sama.

“Kuberitahu padamu, mudah dan sulit itu relatif. Hidup takkan sesulit itu jika kau melakukannya dengan sepenuh hati. Dan mati itu tidak akan gampang jika kau tahu kau punya sesuatu yang layak dipertahankan dalam hidup.” –hlm. 164

***
Ketika sudah mengetahui ending dari sebuah cerita, apa yang akan kamu lakukan? Tetap melangkah sampai akhir, atau berhenti saja—toh, sudah tahu akhirnya akan seperti ini?

Membaca People Like Us, saya sudah tahu kemana akhir ini akan membawa para pembacanya. Menurut saya penulis memang sengaja membocorkan detail-detail penting yang seharusnya ia sembunyikan untuk membuat kejutan, malah ia letakkan di depan sendiri. Karena saya tahu, penulis ingin menyuguhkan proses dari cerita ini. Bukan ending-nya.

Saya memang sempat terkejut dengan cara Yosephine menyuguhkan alur dari kisah Ben dan Amy ini. Pertanyaan seperti, “Kenapa sih dibongkar diawal? Kenapa nggak jadi kejutan di akhir saja?” sempat memenuhi benak saya. Namun saya tahu, inilah perbedaan serta kelebihan yang ingin ditunjukkan Yosephine kepada para pembacanya.

Membaca People Like Us ini kita seperti diajak bernostalgia bersama masa-masa menyenangkan di SMA. Tentang cinta pertama, tentang sahabat, tentang impian.Yosephine mampu mengolah cerita yang biasa ini menjadi luar biasa.

Cerita ini memang mengalir ada adanya, yang saya sayangkan hanyalah beberapa konflik yang coba disuguhkan penulis sama sekali tidak terasa tajam bagi saya. Kesannya flat—datar dan nggak berasa.

Saat membaca kisah Ben dan Amy ini, kita seperti didongengi. Oleh siapa? Coba tebak sendiri ya! #haha. People Like Us tidak hanya bercerita tentang tokoh utama perempuan saja—Amy—tapi juga pada tim yang berlawanan—Ben. Potongan-potongan cerita tentang memori masa lalu Ben. Tentang apa yang dicintainya, apa saja mimpi-mimpinya, dan apa yang telah direnggut darinya.

1 komentar:

  1. Aku punya buku ini lho, nggak inget apa hasil beli atau hasil buntelan gitu, baru banget dikit baca udah ganti bacaan lagi. Bukan karena nggak bagus, tapi ya mungkin waktu itu aku lagi khilaf nggak nyelesaiin baca ini #durhakaye.

    Udah banyak baca reviewnya sih, tapi kupikir aku bakal baca, tapi nanti xP Ah, salahku sih, ya.

    Btw, kakak ikut IRRC 2015 kan? Hayu, jangan lupa wrap-up post-nya *ini komentar paling minta dibacok*

    BalasHapus