Judul : Senja yang Mendadak Bisu
Penulis : Lugina W.G. dkk.
Editor : Ainini
Proofreader : Addin Negara, RN
Tata Sampul : Wulan Nugra
Tata Isi : Violet Vitrya
Pracetak : Endang
Penerbit : de TEENS
Tanggal Terbit
: April 2015
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-0806-08-2
Tebal : 240 halaman
Rating
: 3 dari 5 bintang
Bah
Kanta masih ingat apa yang dikatakan calon bupati berambut pitak kala itu,
“Sst…, bukan buat dimakan…,” bisiknya pelan, mata culasnya melirik ke kiri dan
kanan, takut ada yang mendengarkan. “Buat syarat, Ki…ehm buat…anu, sesajen.
Minta berkahnya begitu lho, Ki. Namanya juga ikhtiar, sebentar lagi Pilkada,
Ki.” Begitu katanya, sambil matanya bergerak-gerak tak mau diam. Barangkali
begitulah gelagat manusia tak bisa dipercaya, batin Bah Kanta.
Bah
Kanta tak pernah mengira bahwa senja bisa tiba-tiba bisu.
***
Iki Palek, Sebuah Perih
Rindu Tak Berkesudahan
by
Amira Zarra Ovitte
“Mama,
apa duka dari kehilangan bisa disembuhkan dengan memotong tangan sekalipun?”—hlm.
48
Jika
ada yang bertanya wanita mana di dunia ini yang paling sabar maka wanita-wanita
Dani dari Lembah Baliem akan dengan bangga hati mengacungkan tangan. Sebagai
wanita Dani Yosani tahu bagaimana peranan jari di tengah kehidupan. Jari
disimbolkan sebagai kerukunan, kesatuan, juga kekuatan dalam diri manusia.
Ruas-ruas jari-nya pun perlahan menghilang bersamaan dengan hilangnya keluarga
dijemput ajal.
“
Apakah rindu harus selalu terdefinisi? Tak peduli heningnya belantara sepi dan
pedih. Tak peduli air mata disesap sakit dan sedih. Dan jiwa-jiwa itu mengejang
di muka rindu tak berkesudahan.” –hlm. 40
Cukup
mengejutkan ketika membaca kisah lokalitas-inspiratif yang satu ini. Tentang
kebiasaan wanita suku Dani yang rela memotong ruas jarinya ketika anggota keluarganya
meninggal. Hal yang baru dan termasuk informasi yang baru juga untuk saya. Saya
termasuk penggemar berbagai hal mengenai negara bagian timur Indonesia ini. Dan
cerita yang disuguhkan oleh penulis
membuat saya sadar bahwa kerinduan itu memang tidak bisa disandingkan
dengan apa-apa. Ia akan tetap abadi meskipun hati sudah enggan untuk
mengingatnya kembali.
Malam Ketiga Belas
Setelah Tahun Baru Lunar
by Zulfa Ulinnuha Tritita
“Penghuni
di Pulau Kemaro biasanya menelusuri diri mereka melalui kata yang mereka
pilih.” –hlm. 88
Puncak
Cap Go Meh di Pulau Kemaro tiba lebih awal yaitu pada malam ketiga belas
setelah Tahun Baru Lunar. Nama ‘Cap Go Meh’ yang dipilih tokoh aku (baca: tokoh
utama) dalam keadaan kehilangan ingatannya. Dan melalui kata tersebut ia mulai
menelusuri siapa dirinya sebenarnya. Sampai ia bertemu dengan Liu Yi Fei yang
tengah menonton pertunjukan Wayang Potehi. Sekelebat ingatan akan masa lalunya
pun muncul dan mengingatkan jati dirinya.
“Aku
ingin kau kuat. Lanjutkan hidupmu…Hidupkan hidupmu selagi memiliki waktu untuk
hidup. Terima kasih untuk pelukan ini. Terima kasih untuk kesetiaanmu. Dan
terima kasih untuk doamu.” –hlm. 96
Cerita
yang satu ini mengangkat lokalitas-inspiratif budaya orang Cina tentang Cap Go
Meh. Penulis cukup mahir mengulik budaya tersebut dengan menggabungkan cerita
fiksi didalamnya. Ada banyak budaya Cina yang coba dihadirkan dalam buku ini,
namun saya lebih tertarik untuk me-review cerita yang mampu membuat dada saya
sesak ketika mencapai ujung cerita. Agak disayangkan karena penulis tidak
memberitahu nama si tokoh utama ini. Di sepanjang cerita yang memakai sudut
pandang orang pertama ini, penulis hanya mencantumkan nama ‘aku’ saja.
Moksa
by Farrahnanda
“Dewa,
aku ingin terlahir kembali sebagai manusia.” –hlm. 99
Percayakah
kau akan sebuah reinkarnasi?
Anjing
betina milik Arya Renggong percaya. Sampai suatu hari ia berdoa agar bisa
terlahir kembali sebagai manusia, namun apa daya, doanya belum terkabulkan.
Ketika akhirnya ia bisa terlahir kembali sebagai manusia, dan berharap bisa
bertemu dengan majikannya sebelumnya (Arya Renggong) dunia seakan menentangnya
dan membuatnya harus menelan pil pahit.
“Takdir
mungkin bisa begitu kejam, tetapi bisa juga menjadi sangat belas kasih.”
–hlm. 98
Saya
sangat menyukai penuturan cerita yang disuguhkan oleh kak Farrahnanda.
Bagaimana penulis mampu membuat alur yang ciamik, tidak membosankan dan tepat.
Cerita pertama kali bermula melalui sudut pandang Kadek (si Anjing Betina),
lalu beralih kepada Nyoman. Flashback yang dihadirkanpun tidak membingungkan,
runtut dan mudah dipahami. Overall, saya sangat menyukai sajian cerita berlatar
daerah dan kebudayaan Bali ini.
0 komentar:
Posting Komentar