[Review] Senja yang Mendadak Bisu

on Minggu, 09 Agustus 2015


 Judul : Senja yang Mendadak Bisu
Penulis : Lugina W.G. dkk.
Editor : Ainini
Proofreader : Addin Negara, RN
Tata Sampul : Wulan Nugra
Tata Isi : Violet Vitrya
Pracetak : Endang
Penerbit : de TEENS
Tanggal Terbit : April 2015
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-0806-08-2
Tebal : 240 halaman
Rating : 3 dari 5 bintang

Bah Kanta masih ingat apa yang dikatakan calon bupati berambut pitak kala itu, “Sst…, bukan buat dimakan…,” bisiknya pelan, mata culasnya melirik ke kiri dan kanan, takut ada yang mendengarkan. “Buat syarat, Ki…ehm buat…anu, sesajen. Minta berkahnya begitu lho, Ki. Namanya juga ikhtiar, sebentar lagi Pilkada, Ki.” Begitu katanya, sambil matanya bergerak-gerak tak mau diam. Barangkali begitulah gelagat manusia tak bisa dipercaya, batin Bah Kanta.
Bah Kanta tak pernah mengira bahwa senja bisa tiba-tiba bisu.
***

Iki Palek, Sebuah Perih Rindu Tak Berkesudahan
by Amira Zarra Ovitte

“Mama, apa duka dari kehilangan bisa disembuhkan dengan memotong tangan sekalipun?”—hlm. 48
Jika ada yang bertanya wanita mana di dunia ini yang paling sabar maka wanita-wanita Dani dari Lembah Baliem akan dengan bangga hati mengacungkan tangan. Sebagai wanita Dani Yosani tahu bagaimana peranan jari di tengah kehidupan. Jari disimbolkan sebagai kerukunan, kesatuan, juga kekuatan dalam diri manusia. Ruas-ruas jari-nya pun perlahan menghilang bersamaan dengan hilangnya keluarga dijemput ajal.

“ Apakah rindu harus selalu terdefinisi? Tak peduli heningnya belantara sepi dan pedih. Tak peduli air mata disesap sakit dan sedih. Dan jiwa-jiwa itu mengejang di muka rindu tak berkesudahan.” –hlm. 40

Cukup mengejutkan ketika membaca kisah lokalitas-inspiratif yang satu ini. Tentang kebiasaan wanita suku Dani yang rela memotong ruas jarinya ketika anggota keluarganya meninggal. Hal yang baru dan termasuk informasi yang baru juga untuk saya. Saya termasuk penggemar berbagai hal mengenai negara bagian timur Indonesia ini. Dan cerita yang disuguhkan oleh penulis  membuat saya sadar bahwa kerinduan itu memang tidak bisa disandingkan dengan apa-apa. Ia akan tetap abadi meskipun hati sudah enggan untuk mengingatnya kembali.

Malam Ketiga Belas Setelah Tahun Baru Lunar
            by Zulfa Ulinnuha Tritita

“Penghuni di Pulau Kemaro biasanya menelusuri diri mereka melalui kata yang mereka pilih.” –hlm. 88

Puncak Cap Go Meh di Pulau Kemaro tiba lebih awal yaitu pada malam ketiga belas setelah Tahun Baru Lunar. Nama ‘Cap Go Meh’ yang dipilih tokoh aku (baca: tokoh utama) dalam keadaan kehilangan ingatannya. Dan melalui kata tersebut ia mulai menelusuri siapa dirinya sebenarnya. Sampai ia bertemu dengan Liu Yi Fei yang tengah menonton pertunjukan Wayang Potehi. Sekelebat ingatan akan masa lalunya pun muncul dan mengingatkan jati dirinya.

“Aku ingin kau kuat. Lanjutkan hidupmu…Hidupkan hidupmu selagi memiliki waktu untuk hidup. Terima kasih untuk pelukan ini. Terima kasih untuk kesetiaanmu. Dan terima kasih untuk doamu.” –hlm. 96

Cerita yang satu ini mengangkat lokalitas-inspiratif budaya orang Cina tentang Cap Go Meh. Penulis cukup mahir mengulik budaya tersebut dengan menggabungkan cerita fiksi didalamnya. Ada banyak budaya Cina yang coba dihadirkan dalam buku ini, namun saya lebih tertarik untuk me-review cerita yang mampu membuat dada saya sesak ketika mencapai ujung cerita. Agak disayangkan karena penulis tidak memberitahu nama si tokoh utama ini. Di sepanjang cerita yang memakai sudut pandang orang pertama ini, penulis hanya mencantumkan nama ‘aku’ saja.

Moksa
            by Farrahnanda

“Dewa, aku ingin terlahir kembali sebagai manusia.” –hlm. 99

Percayakah kau akan sebuah reinkarnasi?
Anjing betina milik Arya Renggong percaya. Sampai suatu hari ia berdoa agar bisa terlahir kembali sebagai manusia, namun apa daya, doanya belum terkabulkan. Ketika akhirnya ia bisa terlahir kembali sebagai manusia, dan berharap bisa bertemu dengan majikannya sebelumnya (Arya Renggong) dunia seakan menentangnya dan membuatnya harus menelan pil pahit.

“Takdir mungkin bisa begitu kejam, tetapi bisa juga menjadi sangat belas kasih.” –hlm. 98

Saya sangat menyukai penuturan cerita yang disuguhkan oleh kak Farrahnanda. Bagaimana penulis mampu membuat alur yang ciamik, tidak membosankan dan tepat. Cerita pertama kali bermula melalui sudut pandang Kadek (si Anjing Betina), lalu beralih kepada Nyoman. Flashback yang dihadirkanpun tidak membingungkan, runtut dan mudah dipahami. Overall, saya sangat menyukai sajian cerita berlatar daerah dan kebudayaan Bali ini.

0 komentar:

Posting Komentar